(Arrahmah.com) -
Sudah menjadi sunnatullah bahwa dalam kehidupan setiap hamba teriring
dengan ujian dan bebanan hidup yang silih-berganti. Hal ini Allah Ta'ala jamin
keberlangsungannya dalam firman-Nya,
Artinya, "Dan Kami pasti akan menguji
kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan
buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang
sabar." (QS. al-Baqarah, 2:155)
Serupa pula dengan firman-Nya,
Artinya, "Dan sungguh, Kami akan
benar-benar menguji kamu sehingga Kami mengetahui orang-orang yang benar-benar berjihad
dan bersabar diantara kamu; dan akan Kami uji perihal kamu." (QS.
Muhammad, 47:31)
Demikian juga halnya terhadap dakwah yang haq
yaitu dakwah yang didasari oleh petunjuk Yang maha pembuat syari'at dengan
bertujuan mentauhidkan-Nya dan mengenyahkan segala bentuk kesyirikan. Maka
bentuk dakwah ini senantiasa tidak akan terlepas daripada ujian, rintangan, dan
ancaman, baik secara mental maupun fisik. Laksana kata, dakwah yang haq tanpa
dibarengi ujian dan rintangan, seperti sebuah hal yang patut dipertanyakan—dakwah
seperti apakah itu? Oleh karena beratnya beban yang harus diterima, maka
sedikitlah yang mampu melaksanakan dakwah haq ini karena takut akan
konsekuensinya. Sebaliknya, mereka yang mampu dan tetap istiqomah menopang
ujian dan rintangan demi tersebarnya syari'at Allah di muka bumi ini, mereka
akan tegar dan berjiwa besar.
Berikut beberapa ujian dan rintangan para
du'at (penyampai dakwah) dalam mendakwahkan yang haq:
1. Dibenci dan
dimusuhi
Mendakwahkan yang haq merupakan kewajiban bagi
setiap pribadi muslim dari Rabb-nya, terutama kepada yang memiliki kemampuan
dakwah semisal para du'at. Namun tugas ini sungguhlah berat karena akan
mendapat perlawanan dari hizbutthaghut yang tidak akan tinggal diam jika
kebenaran yang hakiki ditebarkan di muka bumi. Perlawanan ini telah ada sejak
zaman para nabi dahulu dan berkekalan hingga akhir zaman. Akan hal ini, Allah
Ta'ala berfirman,
Artinya, "Dan seperti itulah, telah
Kami adakan bagi tiap-tiap nabi, musuh dari orang-orang yang berdosa." (QS.
al-Furqon, 25:31)
Lalu firman-Nya,
Artinya, "Dan seperti itulah, telah
Kami adakan bagi tiap-tiap nabi, musuh yaitu setan-setan (dari jenis) manusia
dan (dari jenis) jin." (QS. al-An'am, 6:112)
Dan juga firman-Nya,
Artinya, "Dan demikianlah Kami adakan
bagi tiap-tiap negeri, penjahat-penjahat yang terbesar agar mereka melakukan
tipu-daya dalam negeri itu." (QS. al-An'am, 6:123)
Melalui tiga ayat ini, Allah Ta'ala telah
menggariskan sebentuk ujian keimanan bagi para hamba pilihan-Nya melalui adanya
sekelompok penentang kebenaran dan para penyeru kekafiran yang tak hentinya
membuat makar.
Dari Anas bin Malik ra bahwa Rasulullah saw
bersabda,
الْمُؤْمِنُ بَيْنَ خَمْسِ
شَدَائِدَ: مَؤْمِنٌ يَحْسُدُهُ, وَ مُنَافِقٌ يُبْغِضُهُ, وَ كَافِرٌ
يُقَاتِلُهُ, وَ نَفْسٌ يُنَازِعُهُ, وَ شَيْطَانٌ يُضِلِّهُ.
Artinya, "Orang mu'min senantiasa
berhadapan dengan lima ujian yang menyusahkan, yaitu:
·
oleh mu'min yang
mendengkinya,
·
oleh munafik yang selalu
membencinya,
·
oleh kafir yang selalu
memeranginya,
·
oleh nafsu yang selalu
bertarung untuk mengalahkannya, dan
·
oleh setan yang selalu
menyesatkannya." (Al-Firdaus bi Ma'tsur al-Khithob, 4/181)
2. Didustakan
Allah Ta'ala berfirman,
Artinya, "Dan sesungguhnya telah
didustakan (pula) rasul-rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap
pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka sampai datang
pertolongan Kami kepada mereka. Tak ada seorang pun yang dapat merubah
kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Dan sesungguhnya telah datang kepadamu
sebagian dari berita rasul-rasul itu." (QS al-An'am, 6:34)
Dalam Tafsir Imam Ibnu Katsir dijelaskan bahwa
ayat tersebut merupakan penghiburan dan ta'ziyah bagi nabi saw lantaran
didustakan oleh kaumnya. Ayat ini juga merupakan perintah bagi beliau saw agar
bersabar seperti sabarnya para ulul 'azmi dan merupakan janji dari Allah yaitu
akan diberi pertolongan dan kemenangan seusai didustakan dan disakiti,
sebagaimana firman-Nya di surat al-Mujadalah ayat ke-21, "…Aku dan
rasul-Ku pasti menang."
3. Dianggap pembual
dan pendongeng
Para ulama robbani seperti juga yang dialami
oleh Rasulullah dan para nabi terdahulu, pun mendapat perlakuan yang sangat
tidak menyenangkan dari umat yang akidahnya masih dan telah terkontaminasi
kesesatan. Mereka menganggap dalil dan hujjah yang disampaikan para du'at merupakan
hasil angan-angan dan rekayasa semata. Al-Qur'an dan hadits diremehkan sebagai
sesuatu yang dibuat-buat dan dianggap cipta-karya makhluk semata, serta dituduh
sebagai alat pemenuh-kepentingan dunia semata. Berikut ayat yang berisi
tuduhan-tuduhan keji mereka,
Artinya, "Dan orang-orang kafir
berkata, "Al-Qur'an ini tidak lain hanyalah kebohongan yang diada-adakan
oleh Muhammad dan dia dibantu oleh kaum yang lain." Sesungguhnya mereka
telah berbuat suatu kezaliman dan dusta yang besar. Dan mereka berkata,
"(Itu hanya) dongengan-dongengan orang-orang dahulu, dimintanya supaya
dituliskan, maka dibacakanlah dongengan itu kepadanya setiap pagi dan
petang." (QS. al-Furqon, 25:4-5)
4. Diejek dan
dipermainkan
Zaman memang telah berubah, namun
intrik-intrik setan takkan lekang dimakan roda zaman. Keberadaan ulama robbani
yang merupakan pewaris para nabi dan sejatinya dimuliakan lagi diikuti, pun
kini tak jauh berbeda dengan nasib para ulama di masa lalu. Seruan mereka
mengajak umat kepada kebenaran yang hakiki, dianggap lelucon yang pantas
ditertawakan. Ancaman mereka yang bersumber al-Qur'an dan as-Sunnah bagi yang
menolak dan berpaling untuk mengikuti syari'at, disikapi dingin seolah ancaman
itu hanya 'gertak sambal' semata.
Hujjah orang-orang penolak kebenaran di masa
ini hanya terpaut kepada dua hal saja, yaitu setia mengikuti agama nenek-moyang
dengan mengatakan ( حَسْبُنَا مَا وَ
جَدْنَا عَلَيْهِ أَبَاءَنَا ) "cukuplah bagi kami apa yang
kami dapati nenek-moyang kami mengerjakannya…" (QS. al-Ma'idah, 5:104)
dan berpendapat bahwa al-Qur'an dan as-Sunnah sudah tak sejalan lagi dengan
perkembangan zaman. Pribadi-pribadi berwatak seperti ini akan selalu eksis dan
menjadi batu ujian bagi para du'at. Allah Ta'ala menyebutkan karakter seperti
ini dalam firman-Nya,
Artinya, "Sesungguhnya orang-orang
yang berdosa adalah mereka yang dahulu menertawakan orang-orang yang
beriman." (QS. al-Mutaffifin, 83:29)
Dan firman-Nya,
Artinya, "Alangkah besarnya penyesalan
terhadap para hamba itu, tiada datang seorang rasulpun kepada mereka melainkan
mereka selalu memperolok-olokkannya." (QS. Yasin, 36:30)
Selain itu, mereka para penolak kebenaran–tak
sungkan-sungkan melabeli para warosatul anbiya ini dengan gelaran wong gendheng
alias orang yang gila. Bahkan kejahilan tersebut mereka sampaikan langsung ke
diri Rasulullah saw, seperti pada firman-Nya,
Artinya, "Mereka berkata, "Hai
orang yang diturunkan al-Qur'an kepadanya, sesungguhnya kamu benar-benar orang
yang gila." (QS. al-Hijr, 15:6)
Perhatikan juga perkataan mereka di ayat
berikut,
Artinya, "Demikianlah tidak seorang
Rasulpun yang datang kepada orang-orang yang sebelum mereka, melainkan mereka
mengatakan, "Dia adalah seorang tukang sihir atau seorang gila. Apakah
mereka saling berpesan tentang apa yang dikatakan itu? Sebenarnya mereka adalah
kaum yang melampaui batas." (QS. adz-Zariyat, 51:52-53)
Namun demikian, hamba-hamba-Nya yang terpilih
akan terus gencar menyampaikan risalah kenabian meski mental mereka senantiasa
dilemahkan pihak-pihak yang memusuhinya.
5. Didebat dengan
kebatilan
Bentuk rintangan berikutnya adalah penolakan
melalui berbagai hujjah yang mengandung kebatilan. Para munafiqin ini, terutama
yang memiliki kekuasaan—cekatan memilih dan 'menggunakan' para ulama yang masih
mempunyai kecenderungan kepada keduniaan untuk menyebarkan opini-opini sesat
mereka kepada umat.
Para ulama penyesat umat ini bahkan tak
segan-segan mengeluarkan fatwa demi legitimasi syar'i sehingga pemberlakuan
undang-undang positif yang berseberangan dengan syari'at Islam menjadi legal.
Alhasil, para masyayikh moderat ini mempresentasikan dien Islam secara
serampangan tanpa dalil yang syar'i. Perkara ini persis seperti yang telah
Allah Ta'ala kemukakan dalam firman-Nya,
Artinya, "Dan tidaklah Kami mengutus
rasul-rasul hanyalah sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi
peringatan; tetapi orang-orang yang kafir membantah dengan yang batil agar
dengan demikian mereka dapat melenyapkan yang hak, dan mereka menganggap
ayat-ayat Kami dan peringatan-peringatan terhadap mereka sebagai
olok-olokan." (QS. al-Kahfi, 18:56)
Ad-Darimi meriwayatkan, Ziad bin Hudair
berkata, "Umar bin Khattab pernah berkata kepadaku, "Tahukah engkau
apa yang akan merusak Islam?" Aku menjawab, "Tidak tahu." Lalu
beliau berkata, "Yang akan merusaknya adalah kekeliruan seorang ulama,
perdebatan kaum munafik terhadap al-Qur'an, dan berkuasanya para pemimpin yang
menyesatkan."
6. Dituduh menipu-daya
Sifat bawaan setan dan para pengikutnya
diantaranya adalah pandai menipu-daya. Sifat ini merupakan senjata andalan
sejak iblis menipu Adam dan istrinya di surga dahulu. Keadaan ini juga mereka
putar-balikkan sehingga para ulama robbani justru yang dituduh telah memperdaya
umat dengan penyampaian materi-materi dakwahnya yang dianggap tak sejalan
dengan kepentingan kaum sesat tersebut.
Dari golongan manusia yang disebutkan
al-Qur'an, ada Fir'aun yang menganggap nabi Musa as telah menipu kaumnya, lalu
Fir'aun berhujjah bahwa petunjuknya lah yang benar.
Artinya, "(Musa berkata), "Hai
kaumku, untukmulah kerajaan pada hari ini dengan berkuasa di muka bumi.
Siapakah yang akan menolong kita dari azab Allah jika azab itu menimpa
kita!" Fir'aun berkata, "Aku tidak mengemukakan kepadamu, melainkan
apa yang aku pandang baik; dan aku tiada menunjukkan kepadamu selain jalan yang
benar." (QS. al-Mu'min, 40:29)
Begitu juga makar yang ditujukan para tukang
sihir Fir'aun terhadap nabi Musa as dan Harun as dengan menuduh keduanya telah
melakukan tipu-daya sihir kepada Fir'aun guna merebut kekuasaan.
Artinya, "Mereka berkata,
"Sesungguhnya dua orang ini adalah benar-benar ahli sihir yang hendak
mengusir kamu dari negeri kamu dengan sihirnya dan hendak melenyapkan kedudukan
kamu yang utama." (QS. Thaha, 20:63)
Kedekatan para ulama 'bayaran' terhadap
penguasa thaghut di masa ini sudah bukan rahasia umum lagi, maka disanalah
loyalitas sosok ulama robbani berperan yaitu gigih memperjuangkan dakwah di
jalan yang telah digariskan-Nya dan tegar dalam menghadapi segala perkara yang
menyeleweng dari shirathal mustaqim.
7. Dilarang berdakwah
Alangkah besarnya musibah tatkala seorang
du'at melaksanakan dakwahnya dengan didasari pendiktean dari pihak penguasa. Ia
menjadi tawanan bagi setiap keinginan sang penguasa dan senantiasa berupaya
untuk tidak menyelisihi keinginan mereka. Syari'at yang dianggap aneh oleh
khalayak awam dan dirasa tak kompeten lagi terhadap perubahan zaman, mereka
substitusi dengan fatwa hasil 'ijtihad' hawa-nafsu mereka.
Keadaan ini tentu saja amat bertolak-belakang
dengan fungsi para du'at sesungguhnya yaitu sebagai penyampai dalil syari'at
yang haq. Oleh sebab itu, para ulama Robbani yang bernaung dibawah panji-panji
syari'at dipersempit ruang geraknya dalam berdakwah, bahkan penguasa dan pihak
yang bersangkutan dengannya, tak malu lagi untuk 'mengisolasi' geliat dakwah
para du'at lurus ini.
Perhatikan berita yang berkaitan dengan
perkara ini; beberapa waktu lalu ketua BNPT Anshad Mbaai sempat mengusulkan
kepada pemerintah untuk dikeluarkannya sertifikasi ulama di Indonesia. Ide
nyeleneh tersebut diluncurkan tak lain untuk menjegal para ulama yang dianggap
radikal dan anti bekerja-sama dengan penguasa demi kelanggengan otoriternya.
Rintangan ini bak sebuah pelengkap bagi aksi
penjegalan yang sudah lebih dulu 'disosialisasikan' di masa sebelumnya yaitu
melarang para ulama 'tertuduh' tersebut untuk menyampaikan dakwahnya di
masjid-masjid, di mimbar-mimbar Jumat, atau di media-media massa. Risalah ini
serupa dengan yang terjadi di masa Rasulullah saw,
Artinya, "Mereka orang-orang yang
mengatakan (kepada orang-orang Anshar), "Janganlah kamu memberikan
perbelanjaan kepada orang-orang (Muhajirin) yang ada disisi Rasulullah supaya
mereka bubar (meninggalkan Rasulullah)." Padahal kepunyaan Allah-lah
perbendaharaan langit dan bumi, tetapi orang-orang munafik itu tidak
memahami." (QS. al-Munafiqun, 63:7)
8. Dituduh sesat
Rintangan lainnya yang lazim dihadapi para
du'at adalah dengan mengalami tuduhan menyebarkan pemahaman sesat. Hal ini
merupakan 'lagu lama' yang diputar-balikkan umat yang masih awam namun tak
berusaha keluar dari kejahiliaannya kepada para du'at tersebut. Terlebih para
du'at yang menjalani medan dakwah dengan menyambangi umat ke pelosok-pelosok
wilayah yang hampir tak terjamah pemerataan pembangunan pemerintah.
Sulitnya menjangkau keberadaan mereka,
ditambah 'proyek' pemerintah yang telah menjadikan mereka sebagai 'cagar alam'
yang harus dijaga kelestarian budayanya, adat-istiadatnya, beserta 'keunikan'
cara beragamanya. Tak ayal lagi menambah rentang jarak yang harus dilalui para
du'at untuk melakukan dakwahnya. Namun tak hanya umat yang tersebar di pelosok,
keadaan umat di perkotaan pun tak beda mirisnya. Mereka terkontaminasi
kebudayaan luar yang tak kalah bahayanya.
Akibatnya, mereka menolak dalil haq dengan
HAM, mencurigai para ulama bak perintang kebebasan berekspresi mereka, dan
menuduh petunjuk dinullah sebagai sebuah kesesatan.
Dalam sejarah, kaum Syu'aib pun melaungkan
kebenaran sebagai suatu kesesatan yang pantas dijauhi.
Artinya, "Pemuka-pemuka kaum Syu'aib
yang kafir berkata (kepada sesamanya), "Sesungguhnya jika kamu mengikuti
Syu'aib, tentu kamu jika berbuat demikian (menjadi) orang-orang yang
merugi." (QS. al-A'raf, 7:90)
Demikian juga yang dilakukan Fir'aun
laknatullah kepada rasul-Nya, Musa as.
Artinya, "Dan berkata Fir'aun (kepada
pembesar-pembesarnya), "Biarkanlah aku membunuh Musa dan hendaklah ia
memohon kepada Tuhannya, karena sesungguhnya aku khawatir dia akan menukar
agamamu atau menimbulkan kerusakan di muka bumi." (QS. al-Mu'min,
40:26)
9. Dituduh memecah-belah
umat
Ujian berupa tuduhan sebagai pemecah-belah
umat juga 'lazim' diterima para ulama robbani. Mereka yang mengusung dakwah
yang bersumber dalil al-Qur'an dan as-Sunnah harus menerima resiko berupa
penolakan umat yang awam dan kaum munafik. Isi dakwahan yang banyak meluruskan
kesalahan umat disalah-artikan umat sebagai upaya dalam menghapus bentuk
peribadahan yang sudah terbiasa dilaksanakan oleh orang-orang terdahulu mereka.
Keawaman yang ingin diubah para du'at menjadi
kefaqihan, malah dipertahankan demi menjaga warisan nenek-moyang dalam
beragama. Dalam firman-Nya, Allah menceritakan hal serupa yang dilakukan oleh
Fir'aun berikut dengan cara antisipasi kejinya,
Artinya, "Berkatalah pembesar-pembesar
dari kaum Fir'aun (kepada Fir'aun), "Apakah kamu membiarkan Musa dan
kaumnya untuk membuat kerusakan di negeri ini (Mesir) dan meninggalkan kamu
serta tuhan-tuhanmu?" Fir'aun menjawab:, "Akan kita bunuh anak-anak
lelaki mereka dan kita biarkan hidup anak-anak perempuan mereka; dan sesungguhnya
kita berkuasa penuh diatas mereka." (QS. al-A'raf, 7:127)
10. Dituduh
"teroris"
Allah Ta'ala berfirman tentang prilaku para
musuhnya dalam memerangi Islam dan para utusan-Nya,
Artinya, "Dan berkata Fir'aun (kepada
pembesar-pembesarnya), "Biarkanlah aku membunuh Musa dan hendaklah ia
memohon kepada Tuhannya, karena sesungguhnya aku khawatir dia akan menukar
agamamu atau menimbulkan kerusakan di muka bumi." (QS. al-Mu'min,
40:26)
Terpatri pada diri setiap ulama rabbani dan
juga pada diri setiap penuntut ilmu untuk tercapainya tujuan dakwah yang
beroleh ridha Illahi. Telah berkata Aisyah ra tentang sabda Rasulullah,
مَنِ الْتَمَسَ رِضَى اللهِ
بِسُخْطِ النَّاسِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَ أَرْضَى عَنْهُ النَّاسِ وَ مَنِ
الْتَمَسَ رِضَى النَّاسِ بِسُخْطِ اللهِ سَخِطَ اللهُ عَلَيْهِ وَ أَسْخَطَ
عَلَيْهِ النَّاسَ.
Artinya, "Barangsiapa yang mencari
ridha Allah dengan kemurkaan manusia, maka Allah akan ridha kepadanya dan akan
membuat manusia ridha kepadanya. Sedangkan orang yang mencari ridha manusia
dengan kemurkaan Allah, maka Allah akan murka kepadanya dan akan membuat
manusia murka kepadanya." (HR. Ibnu Hibban, Mawaridh adh-Dham'an;
1542)
Tercatat dalam shirah para nabi dan para
sholafush sholih terdahulu adalah didapati bahwa barisan terbesar para
penentang agama Allah Ta'ala adalah para pembesar kerajaan dan para ahli yang
mengelilinginya. Di zaman ini, pemerintah dan para petinggi negaralah yang
mewarisi sifatnya.
Karena dengan kekuasaan, mereka leluasa
memilah 'oknum' yang dianggap sejalan dengan kepentingannya dan dengan tampuk
kepemimpinan berada di tangan, maka mereka mampu memaksakan kehendak dalam roda
pemerintahannya. Perkara ini menjadi suatu momok yang menakutkan para
pendakwah. Itu sebabnya tak semua du'at berani mengambil resiko ini. Hanya
mereka yang gigih mengikuti bentuk perjuangan dakwah para nabi yang mampu
mengatasinya. Terdapat suatu hadits berkenaan dengan ini,
أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ
عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ.
Artinya, "Jihad yang paling utama
adalah mengucapkan kalimat yang benar dihadapan penguasa yang
sewenang-wenang." (HR. Abu Daud dan At Trmidzi)
Sayyid Quthb dalam kitab Ma'alimun
fith-Thoriq mengatakan "Sesungguhnya kemenangan dalam bentuk yang
tertinggi ialah kemenangan rohani atas materi, kemenangan akidah atas segala
rasa sakit, kemenangan atas semua bentuk ujian, siksaan, dan godaan. Sebuah
kemenangan yang akan memuliakan setiap manusia, inilah kemenangan yang
hakiki."
Perlakuan kaum kafir dan munafik saat ini terhadap
para ulama robbani dan para mujahid fi sabilillah sudah berada pada tingkat
yang mengundang laknat Allah Ta'ala. Para pembuat makar yang juga menjadi
antek-antek kafir asing itu kian membabi-buta berusaha membabat habis para
penegak agama Allah. Sejuta aksi dan fitnah mereka layangkan demi menutup lisan
para du'at. Diantaranya dengan tuduhan keji sebagai pelaku teror, sebagai
pengikut aliran ekstrim, atau sebagai penganut Islam radikal. Semua julukan itu
dilimpahkan agar para du'at menjadi gentar untuk meneruskan dakwah haqnya dan
agar umat berpaling serta mengasingkannya.
11. Disiksa agar
kembali kafir
Penyiksaan adalah salah-satu ujian yang biasa
dialami para ulama robbani dalam mengusung dakwah yang haq. Ujian ini begitu
berat bahkan sampai terkadang harus mengalami terpisahnya ruh dari badan. Makar
yang kejam ini dilakukan oleh jiwa-jiwa yang sudah meleburkan-dirinya bersama
setan laknatullah sehingga hati-nurani dan kefitrahan yang dianugerahkan
kepadanya menjadi terkontaminasi dan mati. Allah azza wa jalla menjelaskan,
Artinya, "Jika mereka menangkap kamu,
niscaya mereka bertindak sebagai musuh bagimu dan melepaskan tangan dan lidah
mereka kepadamu dengan menyakiti(mu); dan mereka ingin supaya kamu (kembali)
kafir." (QS. al-Mumtahanah, 60:2)
Begitu juga firman-Nya,
Artinya, "Mereka ingin supaya kamu
menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama
(dengan mereka). Maka janganlah kamu jadikan di antara mereka
penolong-penolong(mu), hingga mereka berhijrah pada jalan Allah.." (QS.
an-Nisa', 4:89).
Para nabi dan para sholafush sholih banyak
mengalami rintangan seperti ini. Mereka ada yang dibakar, ada yang dikuliti
hingga terlihat daging dan tulangnya, ada yang ditindih dengan batu besar di
padang pasir nan terik, ada yang dibui tanpa diberi makan, dan beragam siksaan
lainnya. Namun iman mereka kepada Rabbul 'alamin tetap terpelihara dalam
jiwa-jiwa yang tenang dan yakin akan janji-Nya. Ketakutan manusiawi yang
dirasakan dalam menghadapi siksaan dari makhluk, tak ada bandingannya dengan
ketakutannya terhadap Allah Ta'ala apabila berlaku khianat dalam dakwah kepada
umat. Seperti yang Allah Ta'ala firmankan,
Artinya, "Sesungguhnya yang takut
kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama." (QS. Fathir,
35:28)
Dalam ayat ini Allah Ta'ala menegaskan bahwa
para ulama adalah orang yang memiliki rasa takut kepada-Nya dengan sepenuh
makna. Meski rasa takut kepada Allah azza wa jalla juga dimiliki oleh kaum
mukminin secara umum, namun rasa takut yang sempurna hanya dimiliki oleh para
nabi, rasul, dan para ulama robbani.
12. Difitnah agar
meninggalkan dakwah yang haq
Ulama, hakikinya adalah mereka yang mewarisi
sifat para nabi dalam berdakwah, beramar-ma'ruf, dan bernahi-munkar. Mereka
berjihad di jalan Allah dan mampu menerima segala resiko yang mengancam demi
tercapainya tujuan dakwah. Di tengah usaha dakwah mereka, mungkin akan
mengalami tekanan berupa infiltrasi atau campur-tangan kaum munafik yang
menginginkan arah dakwah tak terlalu 'keras' menghantam berbagai kepentingan dunia
penguasa dan kroni-kroninya.
Mereka (kaum munafik) akan berupaya
'merangkul' dan menghibahkan bermacam kesenangan dunia agar semangat dakwah
para ulama robbani menjadi kendor dan ketaklukan terhadap penguasa bisa
terjadi. Dalam satu firman, Allah Ta'ala berkata,
Artinya, "Maka mereka menginginkan
supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu). Dan
janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina."
(QS. al-Qolam, 68:9-10)
Dalam tafsir Ibnu Katsir, dikatakan bahwa Ibnu
Abbas ra menjelaskan ayat diatas bahwa jikalau seorang mu'min memberikan suatu
keringanan (dalam masalah syari'at) kepada orang munafik, maka orang munafik
itu akan memberikan keringanan pula kepadanya. Sebaliknya, jika seorang mu'min
menegakkan suatu perkara diatas syari'at, maka kaum munafik pun akan menegakkan
makarnya menentang dalil tersebut.
13. Diancam,
ditangkap, dipenjarakan, disiksa, atau dibunuh
Berikut beberapa ayat yang bisa dijadikan
contoh beberapa makar hizbussyaiton terhadap para utusan Allah,
Allah SWT berfirman:
Artinya, "Orang-orang kafir berkata
kepada rasul-rasul mereka, "Kami sungguh-sungguh akan mengusir kamu dari
negeri kami atau kamu kembali kepada agama kami." Maka Tuhan mewahyukan
kepada mereka, "Kami pasti akan membinasakan orang- orang yang zalim
itu." (QS. Ibrahim, 14:13)
Artinya, "Sesungguhnya jika mereka
dapat mengetahui tempatmu, niscaya mereka akan melempar kamu dengan batu, atau
memaksamu kembali kepada agama mereka, dan jika demikian niscaya kamu tidak
akan beruntung selama-lamanya." (QS. al-Kahfi, 18:20)
Artinya, "Mereka
menjawab,"Sesungguhnya kami bernasib malang karena kamu, sesungguhnya jika
kamu tidak berhenti (menyeru kami), niscaya kami akan merajam kamu dan kamu
pasti akan mendapat siksa yang pedih dari kami." (QS. Yasin, 36:18)
Artinya, "Mereka berkata,
"Bakarlah dia dan bantulah tuhan-tuhan kamu, jika kamu benar-benar hendak
bertindak." (QS. al-Anbiya, 21:68)
Artinya, "Dan (ingatlah), ketika
orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan daya upaya terhadapmu untuk menangkap
dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka memikirkan
tipu-daya dan Allah menggagalkan tipu-daya itu dan Allah sebaik-baik pembalas
tipu-daya." (QS. al-Anfal, 8:30)
Ditangkap, diusir, dilempari batu, dirajam,
dibakar, hingga dibunuh—itulah beberapa siksaan fisik yang lazim menyertai para
pendakwah di jalan Allah. Kerasnya siksaan dan pedihnya penderitaan yang
dialami tak jua mengikis kekokohan perjuangannya dalam membumikan kalimat
tauhidullah. Tak terbetik sedikitpun bagi mereka untuk sudi mengikuti makar
kaum munafikin dalam upaya menyesatkan umat dari petunjuk yang hakiki, yaitu
al-Qur'an dan as-Sunnah. Baginya hanya ada dua pilihan; Hidup dalam kemuliaan
atau mati dalam kesyahidan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata,
"Jika ada ulama yang meninggalkan apa yang ia ketahui dari al-Qur'an dan
as-Sunnah, lalu mengikuti kehendak pemerintah yang bertentangan dengan hukum
Allah dan Rasul-Nya, maka ia telah murtad keluar dari Islam menjadi kafir, dan
berhak mendapatkan hukuman setimpal, baik di dunia maupun di akhirat."
(Majmu Fatawa' Ibnu Taimiyyah, jilid ke-35, hal. 372-373)
Begitu pula apa yang disabdakan oleh
Rasulullah dalam riwayat Tsauban,
إِنَّمَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي الأَئِمَّةَ الْمُضِلِيْنَ.
Artinya, "Sesungguhnya yang paling aku
takutkan atas umatku adalah para imam yang menyesatkan." (HR. Muslim)
Mudah-mudahan Allah Ta'ala menjaga
keistiqomahan para du'at dalam menjaga kemurnian dinullah serta membimbing para
tholabul 'ilmi untuk ikut-serta mendawamkan kebenaran yang hakiki ini sepenuh
kemampuan yang dimiliki. Wallahul musta'an. Semoga bermanfa'at.
Wallahu'alam bish shawab…
____________________________________________
Oleh: Ustadz
Abu Muhammad Jibriel Abdul Rahman