ALI MOERTOPO, ARSITEK PEMBERANGUS GERAKAN ISLAM MASA ORDE BARU
SALAM-ONLINE.COM: Sosoknya dikenal sebagai tangan kanan
Soeharto. Ia menggunakan siasat “Pancing dan Jaring” untuk memberangus gerakan
Islam. Umat Islam disusupi dan dipancing untuk bertindak ekstrem, setelah itu
dijaring untuk diberangus atau dikendalikan!
Namanya
Ali Moertopo. Meski Muslim, dalam karir intelijen dan militernya ia dikenal
sebagai arsitek pemberangus gerakan Islam pada masa Orde Baru.
Ia
menjadikan umat Islam sebagai lawan, bukan kawan. Untuk memuluskan misinya, ia
berkolaborasi dengan kelompok anti-Islam, di antaranya kelompok Serikat Jesuit,
kejawen, dan para pengusaha naga yang menjadi pilar kekuatan Orde Baru.
Mereka
tak hanya mengebiri kekuatan Islam secara politik, tetapi juga memarjinalkan
perekonomian umat Islam.
Ali
Moertopo dilahirkan di Blora, Jawa Tengah, 23 September 1924. Sebagai tangan
kanan penguasa Orede Baru, Seoharto, beberapa jabatan mentereng di dunia
militer, intelijen, dan pemerintahan pernah dipegangnya, yaitu; Deputi Kepala
Operasi Khusus (1969-1974), Wakil Kepala Bidang Intelijen Negara (1974-1978),
Penasihat Badan Pemenangan Pemilu (Bapilu) Golkar, dan Menteri Penerangan RI
(1978-1983).
Hampir
semua posisi dan karir yang didudukinya, berkaitan dengan upaya menyingkirkan
peranan umat Islam dan memberangus gerakan Islam.
Pada
pemilu tahun 1971, Moertopo memobilisasi kekuatan militer untuk menekan para
mantan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk memilih Golkar. Sedangkan
saat menjabat sebagai Kepala Operasi Khusus (Opsus), lembaga yang dikenal
angker pada saat itu, Ali Moertopo banyak melakukan upaya-upaya penyusupan
(desepsi, penggalangan dan pemberangusan gerakan Islam).
Siasat
“Pancing dan Jaring” digunakan oleh Moertopo untuk menyusup ke kalangan Islam,
melakukan pembusukan dengan berbagai upaya provokasi, kemudian memberangusnya.
Operasi
intelijen tersebut pada saat ini mirip dengan apa yang dilakukan oleh Densus
88, sebuah detasemen yang juga dikendalikan oleh musuh-musuh Islam, dengan
tujuan yang sama.
Beberapa
peristiwa seperti Komando Jihad, tragedi Haur Koneng, penyerangan Polsek
Cicendo, Jamaah Imran, dan Tragedi pembajakan pesawat Woyla, tak lepas dari
siasat licik Moertopo.
Stigma
“ekstrem kanan” yang ditujukan kepada umat Islam dan “ekstrem kiri” yang
ditujukan kepada anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI), juga
hasil dari kerja intelijen Moertopo.
Umat
Islam dipancing, kemudian dijaring dan diberangus. Sebagian yang tak kuat iman,
dikendalikan kemudian digalang untuk bekerjasama dengan penguasa.
Pada
peristiwa Komando Jihad misalnya, simpatisan Darul Islam (DI) dan Tentara Islam
Indonesia (TII), dipropaganda dan dimobilisasi oleh Ali Moertopo untuk
melakukan perlawanan terhadap ancaman Komunis dari Utara (Vietnam).
Ali
Moertopo kemudian mendekati beberapa orang tokoh DI, yaitu Haji Ismail Pranoto,
Haji Danu Muhammad Hassan, Adah Djaelani, dan Warman untuk menggalang kekuatan
umat Islam, yang memang sangat memendam luka sejarah terhadap komunisme.
Setelah
ribuan umat Islam termobilisasi di Jawa dan Sumatera, dengan siasat liciknya,
Moertopo kemudian menuduh umat Islam akan melakukan tindakan subversif dengan
mendirikan Dewan Revolusi Islam lewat sebuah organisasi “Komando Jihad
(KOMJI)”.
Mereka
kemudian digulung dan dicap sebagai “ekstrem kanan”. Istilah “Komando Jihad”
muncul pada tahun 1976 sampai 1982. Selain KOMJI, rekayasa intelijen juga
terlihat jelas dalam kasus Jamaah Imran, Cicendo, dan pembajakan pesawat DC-9
Woyla.
Jamaah
Imran adalah kumpulan anak-anak muda yang dipimpin oleh Imran bin Muhammad
Zein, pria asal Medan. Aktivitas kelompok yang didirikan pada 7 Desember 1975
ini berpusat di Bandung, Jawa Barat.
Ali
Moertopo
Kelompok
ini berobsesi ingin membangun sebuah komunitas Muslim yang melaksanakan syariat
Islam secara murni. Untuk menjalankan misinya, menurut laporan intelijen,
mereka mendirikan Dewan Revolusi Islam Indonesia (DRII).
Istilah
Jamaah Imran juga diberikan oleh aparat, bukan penamaan yang dibuat kelompok
anak muda tersebut. Kasus Jamaah Imran mencuat ke publik saat terjadi
penyerangan Polsek Cicendo, Bandung, pada 11 Maret 1981.
Peristiwa
itu bermula ketika polisi menahan anggota jamaah tersebut karena kasus
kecelakaan. Kemudian mereka berusaha membebaskan anggotanya dengan melakukan
penyerangan bersenjata. Peristiwa berdarah itu menjadi legitimasi aparat untuk
melakukan penangkapan anggota Jamaah tersebut.
Peristiwa
Cicendo berlanjut dengan aksi pembajakan pesawat terbang DC 9 Woyla GA 208
dengan rute Jakarta-Palembang pada Sabtu, 28 Maret 1981. Pembajakan tersebut
dilakukan oleh lima orang anggota Jamaah Imran dengan membelokkan pesawat
menuju Bandara Don Muang, Thailand.
Drama
pembajakan ini berhasil ditumpas oleh Pasukan Khusus TNI di bawah pimpinan LB
Moerdani dan Sintong Pandjaitan. Mengapa sekelompok anak muda itu begitu
radikal dan berani melakukan perlawanan terhadap pemerintah? Setelah diusut,
sikap radikal kelompok itu ternyata diciptakan oleh seorang intel ABRI yang
bernama Johny alias Najamuddin yang menyusup dalam Jamaah Imran.
Johny
yang sudah diterima oleh jamaah tersebut kemudian melakukan beragam provokasi
dengan menebar kebencian kepada ABRI. Johny kemudian ‘membeberkan rahasia’ ABRI
yang dikatakan akan melakukan de-islamisasi di Indonesia.
Untuk
itu, Johny merencanakan agenda besar: melakukan perlawanan terhadap ABRI. Di
tengah sikap ABRI yang memang telah membuka “front” terhadap umat Islam, para
anggota Jamaah Imran kemudian terbujuk dengan gagasan Johny.
Tanpa
sepengetahuan para anggota jamaah lainnya, Johny membuat dokumentasi setiap
aktivitas yang dilakukan jamaah tersebut. Dengan skenario licik, Johny kemudian
membuat rencana untuk melakukan operasi pencurian senjata api di Pusat
Pendidikan Perhubungan TNI AD pada 18 November 1980.
Senjata
curian itulah yang kemudian dilakukan untuk menyerang Polsek Cicendo. Anehnya,
Johny yang telah menghasut anggota Jamaah Imran untuk menyerang markas polisi
tersebut, ternyata tak menampakkan batang hidungnya saat peristiwa terjadi.
Bahkan saat polisi melakukan aksi besar-besaran untuk menangkap Jamaah Imran,
Johny ‘lolos’ dari penangkapan.
Johny
akhirnya tewas dieksekusi anggota Jamaah ini di suatu tempat. Saat persidangan
kasus ini digelar di pengadilan, majelis hakim menolak untuk membuka identitas
Johny. Selain itu, Jaksa penuntut umum juga selalu mementahkan usaha untuk
mengorek identitas pria itu lebih dalam.
Jenderal
Soemitro, seniornya Ali Moertopo di lingkungan militer, dalam biografinya
menyebut kasus Jamaah Imran, peristiwa penyerangan terhadap Golkar di Lapangan
Banteng, dan pembajakan Pesawat Woyla sebagai rekayasa Opsus (Operasi Khusus)
Ali Moertopo yang menerapkan teori “Pancing dan Jaring”.
Dalam
kasus Jamaah Imran, kata Seomitro, Opsus memakai tokoh Imran yang bernama asli
Amran. Selama lima tahun Imran dibiayai oleh Ali Moertopo belajar di Libya
untuk mempelajari Islam dan ilmu terorisme. Imran Kemudian dimunculkan sebagai
sosok yang ingin mendirikan Negara Islam Indonesia kembali.
Soemitro
juga menceritakan, laporan intelijen menyebut tujuan operasi Woyla untuk
menggulingkan pemerintahan Soeharto dan mendiskreditkan umat Islam. Operasi ini
ingin memunculkan kesan bahwa kelompok Islam cenderung radikal dan masih
memiliki keinginan untuk mendirikan negara Islam seperti halnya DI/TII.
Inilah
yang kata Soemitro disebut sebagai teori “Pancing dan Jaring”, dimana umat
Islam dirangkul (dibina, pen) terlebih dahulu, lalu dikipasi untuk memberontak,
baru kemudian ditumpas sendiri oleh Opsus.
Jenderal
Soemitro menceritakan, “Kecurigaan saya terhadap kasus Woyla, mulai muncul,
ketika ada laporan bahwa sebetulnya Panglima Angkatan Bersenjata (Pangab)
Jenderal TNI M Jusuf akan membawa Awaloedin Djamin—yang notabene memiliki pasukan
anti-teror untuk menyelasaikan kasus pembajakan tersebut.
Ali Moertopo (kanan)
Namun,
rencana itu tiba-tiba berubah tanpa sepengetahuan Jusuf, tidak tahu siapa yang
mengubahnya. Akhirnya yang berangkat bukan lagi pasukan Awaloedin Djamin, melainkan
pasukan RPKAD yang dipimpin Sintong Pandjaitan.
Ini
yang menjadi pertanyaan sampai sekarang, mengapa RPKAD yang berangkat, bukannya
polisi. Dari situ saya bisa menganalisis bahwa ada dua komando, yakni yang
langsung ke jalur Pangab, dan satunya lagi: Jalur invisible hand!” (Lihat,
biografi Jenderal Soemitro yang ditulis oleh Ramadhan K.H, Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 1994 dan buku Heru Cahyono, Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dan
Peristiwa 15 Januari ’74, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998, Cetakan
Ketiga)… (Lanjut ke Bagian 2). (Artawijaya/salam-online.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar